panjaitanmath
Selasa, 28 April 2015
Senin, 09 September 2013
Kamis, 08 Oktober 2009
TANTANGAN MASA DEPAN PENDIDIKAN YANG HARUS DIRESPON REAL DAN POSITIF OLEH GURU
Mengapa demikian ? Di Indonesia ternyata kualitas hasil pendidikan masih diukur dengan standar hasil kemampuan peserta didik 3 atau 4 mata pelajaran yang diperoleh dengan cara yang belum tentu obyektif tergantung pada penguasa bidang pendidikan setempat yaitu jujur atau mencari muka. Lepas dari setuju atau tidak dengan ukuran berdasar hanya atas ranah kognitif (sedangkan ranah lain afektif dan psykhomotor tidak ikut menentukan keberhasilan namun itu suatu kenyataan yang harus kita hadapi. Oleh sebab itu perlu kita sikapi positif dan kita perlu berusaha melalui upaya pengajaran dan pelatihan lewat proses dan cara yang baik dan benar, bukan lewat team sukses (yang menghalakan segala cara yang penting peserta didiknya lulus) dengan jalan pintas yang curang.
Cara kedua tersebut tidak mendewasakan peserta didik dan tidak mendidik tetapi merusak pendidikan (sebab lewat jalan pintas yang melanggar hukum dan tidak lewat pengajaran dan pelatihan). Proses dan cara yang digunakan bukan perbuatan mendidik, tetapi perbuatan mafia pendidikan.
Tantangan pertama ialah peserta didik dapat lulus UN dari jenjang pendidikan yang menjadi tanggung jawab kita maka upaya peningkatan pengajaran dan pelatihan bagi guru maupun peserta didik perlu kita laksanakan.
Salah satu langkah yang perlu kita kerjakan ialah guru harus tahu materi/kompetensi mana yang dirasa sulit/gagal oleh peserta didik (perorangan/kelompok) dengan data empiris dan komprehensif (bukan karangan dan asal-asalan)
Guru perlu bertindak cermat dalam proses pembelajaran dan mengetahui secara tepat dan akurat pembelajaran berhasil/tidak, peserta didik telah menguasai materi/kompetensi yang diajarkan/belum (jangan hanya dengan bertanya : sudah mengerti anak-anak ? dijawab sudah ! secara serentak, guru merasa puas dan percaya. Guru perlu memiliki teknik evaluasi proses yang tepat agar hasilnya tidak semu. Disinilah guru dituntut untuk mengetahui secara tepat materi esensial mana dan kompetensi dasar (KD) mana yang belum dikuasai peserta didik.
Materi esensial dan KD tersebut diinventarisasi hasilnya kemudian dianalisis untuk mengetahui sebab tidak keberhasilan/kegagalan dan dikaji dari berbagai aspek/komponen yang terkait dengan pembelajaran. Guru tidak boleh langsung menghakimi dengan kata-kata gagal/tidak berhasil, karena muridnya sisa dari negeri/dari masyarakat pinggiran. Guru harus jujur dan berani mengadakan instropeksi dan retrospeksi dalam hal kompetensi pertama-tama pada pribadinya (kemampuan/kesiapan/penguasaan pembelajaran, upaya-upaya agar proses pembelajaran tuntas, penguasaan metode dan penggunaan media, kemampuan memberi motivasi dan reinforcement/penguatan, teknik evaluasi serta kecakapan memberikan pendampingan dan lain-lain) yang terkait dengan pembelajaran. Setelah faktor intern dikaji dan menemukan kekurangan perlu ada kemampuan untuk berubah ke arah lebih baik dan segera dikerjakan tidak usah malu atau takut dan belajar dan belajar terus sampai benar-benar menjadi guru yang berkompetensi dan berkualitas ; dan apabila disertai dengan dedikasi tinggi dalam pendidikan berarti telah menuju ke arah kesempurnaan sebagai seorang guru yang mandiri.
Bila upaya instropeksi dan retrospeksi ke dalam diri sendiri sudah dilaksanakan dan perbaikan-perbaikan telah dijalankan barulah ekstropeksi sebagai langkah kedua dijalankan yaitu melihat kondisi objektif peserta didik secara perorangan/kelompok, hal ini sangat penting untuk menentukan motivasi dan strategi pembelajaran. Menghadapi kondisi peserta didik yang berbeda-beda dari : perkotaan, marginal dan murni pedesaan, memerlukan kemampuan ketepatan memberi motivasi dan menentukan strategi pembelajaran (tidak dapat digebyah uyah = jawa).
Disini guru perlu belajar banyak untuk mengenal pribadi peserta didik agar dapat mengadakan pendekatan dengan baik sebab adanya komunikasi yang baik antara guru dengan peserta didik merupakan langkah awal yang menentukan keberhasilan pembelajaran.
Guru perlu mengetahui kemampuan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran dan suasana yang bagaimana yang dapat mendorong/menggairahkan/semangat belajar. Guru perlu menciptakan suasana siap, baru berlangsung pembelajaran. Jadi setelah terjadi adanya persamaan persepsi antara guru-peserta didik, guru baru melangkah ke materi/inti pembelajaran. Ini baru awal pembelajaran yang efektif. Guru wajib menjadi agen pembelajaran dalam arti memiliki kemampuan dan kemauan untuk melayani dalam pembelajaran. Kesediaan untuk menjawab pertanyaan, kesabaran dalam membimbing dan mendampingi, ketelatenan waktu melatih (sejenis try out dan sebagainya), kesabaran untuk menanamkan konsep kepada peserta didik khususnya yang kurang cepat menangkap dan sifat-sifat mulia lain sebagai guru.
Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian dari guru ialah media pembelajaran (media, alat bantu, peraga) dan sumber belajar (perpustakaan, media cetak/elektronik, internet dan lain-lain) yang memadai (sesuai dengan jenjang/satuan pendidikan). Guru wajib berupaya menggunakan media dalam pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran/memperluas penguasaan materi dan kompetensi, kepustakaan dan sumber belajar yang lain perlu diberdayakan secara optimal (klipping, membuat resume/resensi buku, studi perpustakaan, menyimak/mengikuti karya-karya ilmiah/penelitian di TV, mencari sumber pengetahuan di internet dan lain-lain). Dengan cara demikian pembelajaran bisa menyenangkan.
Sekolah perlu menyediakan fasilitas jangan sampai guru memberi tugas bertumpuk tanpa ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini yang perlu diperhatikan oleh guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran ialah penggunaan metode yang bervariasi. Dengan metode yang bervariasi pembelajaran mengasyikkan dan kreativitas guru maupun peserta didik dapat dikembangkan.
Dibawah ini adalah model-model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) diantaranya :
a) Contextual Teaching and Learning (CTL).
b) Inquiry (Pendekatan Inkuri).
c) Numbered Heads Together (Kepala bernomor) (Spencer Kagan, 1992).
d) Cooperatif Script (Danserean Cs, 1985).
e) Kepala Bernomor Berstruktur (Modifikasi dari Number Heads).
f) Student Teams – Achievement Divisions (STAD) Tim Siswa Kelompok Prestasi (Slavin, 1995).
g) Jigsaw (Model Tim Ahli) (Aroson, Blaaney, Stephen, Sikes and Snapp, 1978).
h) Problem Based Introduction (PBI) (Pembelajaran berdasarkan masalah).
i) Examples Non Examples (Contoh dapat dari kasus/gambar yang relevan dengan KD).
j) Debate.
k) Tink Pair and Share (Frank Lyman, 1985).
l) Make – A Match (Materi Pasangan), (Lorna, Curran, 1994).
m) Artikulasi.
n) Mind Mapping.
o) Picture and Picture.
Pemilihan metode tentu disesuaikan dengan materi/KD, waktu yang tersedia, media yang ada, serta kemampuan guru untuk mengolah dan memvariasi dengan metode lain sehingga pembelajaran dapat lebih menarik dan menyenangkan.
Tantangan kedua yang perlu direspon secara positif ialah adanya tantangan sekaligus peluang yang ada pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu :
1. Akselerasi (Pasal 12 ayat 1)
Beberapa sekolah negeri dan swasta yang berkualitas telah melaksanakan program akselerasi suatu program yang memberi kesempatan pada peserta didik untuk menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing. Hal ini perlu dicermati agar peserta didik yang cerdas dapat menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat. Program ini tentunya akan menarik orang tua dan peserta didik yang memenuhi syarat.
2. Emisi (Pasal 33 ayat 3)
Proses pembelajaran dengan pengantar bahasa asing. Bisakah di sekolah Anda dimulai? Bila akan memajukan/ melancarkan penggunaan bahasa Inggris ada baiknya diciptakan kesempatan/ suasanan berbahasa Inggris, misalnya ada English day, debate dengan bahasa Inggris, pembelajaran dengan pengantar bahasa Inggris (emisi). Guru yang memliki kemampuan berbahasa Inggris dapat memulai dan disusul oleh guru-guru lain. Dengan demikian sekolah memfasilitasi untuk peserta didik berbahasa Inggris secara aktif dan mengantar peserta didik yang belajar/ bekerja di negara-negara yang berbahasa Inggris.
3. Internasionalisasi (Pasal 50 ayat 3)
Sekolah bisa dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional. Tentunya ada standar tertentu yang menjadi syaratnya dan itu perlu kita ketahui yang menyangkut : kurikulum, sarana prasarana, guru, bahasa yang digunakan, peserta didik dan manajemennya. Bagaimana beratnya perlu kita kaji persyaratannya dan berupaya secara bertahap untuk memenuhinya. Hal ini jangan sampai ada joke yang dilempar para ahli pendidikan : Dalam dunia pendidikan orang Indonesia bisa tersenyum bila ada dikamboja tetapi di luar itu di Asia Tenggara kita sedih.
Tantangan ketiga dalam dunia pendidikan di Indonesia ialah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Syarat kualifikasi S1/ D4 bagi Guru TK-SD-SMP/ SMA/ SMK harus terpenuhi. Guru wajib memiliki kompetensi : kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Di luar dua syarat di atas maka untuk mendapatkan tunjangan dari pemerintah guru harus memiliki sertifikat pendidikan dan diberikan pada guru harus yang telah memenuhi persyaratan diatas, sertifikat pendidikan merupakan syarat untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu dengan mendapat tunjangan dari pemerintah (tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus).
Tantangan keempat
Bagaimana kita dalam waktu yang sangat singkat dapat menyusun KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sehingga dapat melaksanakan Permen 22, 23 dan 24 secara baik. Memang guru dapat mengadopsi dan mengadaptasi KTSP yang ada tetapi guru yang mandiri akan memilih menyusun sendiri.
Sumber : Drs. F. Sugiono
PERAN FACILITATOR DALAM MEMBANTU ANAK MEMBANGUN PENGETAHUAN
Menurut filsafat konstruktivisme yang berbeda dengan Filsafat klasik, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) siswa sendiri yang sedang belajar. Pengetahuan siswa akan anjing adalah bentukan siswa sendiri yang terjadi karena siswa mengelola, mencerna, dan akhirnya merumuskan dalam otaknya pengertian akan anjing. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk lewat pengalaman indrawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar dan akhirnya merumuskannya dalam pikiran. Filsafat ini sedang digandrungi oleh sejumlah Negara maju saat ini sehingga warna dan nuansa pelaksanaan pendidikan di sekolah sangat diwarnai filsafat ini.
Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Sebagai contoh, pengetahuan siswa tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sederhana, tidak lengkap, dan semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing akan bertambah lengkap.
Menurut para konstruktivis, pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi (personal). Siswa itu sendirilah yang membentuknya. Tokoh dalam hal ini adalah Piaget. Semua hal lain termasuk pelajaran dan arahan guru hanya merupakan bahan yang harus diolah dan dirumuskan oleh siswa sendiri. Tanpa siswa sendiri aktif mengelola, mempelajari, dan mencerna, ia tidak akan menjadi tahu. Maka, dalam pengertian ini, pendidikan atau pengajaran harus membantu anak didik aktif belajar sendiri. Namun, pengetahuan juga dapat dibentuk secara sosial (bersama). Vygotsky mengatakan bahwa pengetahuan anak dibentuk dalam kerjasama dengan teman lain. Hal ini terutama berlaku pada pembelajaran bahasa. Orang hanya akan lebih maju dalam bidang bahasa bila ia belajar bersama orang lain. Maka, Vygotsky menekankan pentingnya kerjasama dalam kelompok. Tatkala kerja kelompok itu siswa dapat saling mengoreksi sambil mengungkapkan gagasan, dan saling meneguhkan.
Peran guru atau pendidik dalam aliran konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator atau moderator. Tugasnya adalah merangsang /memberikan stimulus, membantu siswa untuk mau belajar sendiri, dan merumuskan pengertiannya. Guru juga mengevaluasi apakah gagasan siswa itu sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak. Sedangkan tugas siswa adalah aktif belajar, mencerna, dan memodifikasi gagasan sebelumnya.
Dalam model filsafat konstruktivisme, jelas bahwa bentuk pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran siswa yang aktif dan kritis. Siswa tidak kosong, tetapi sudah punya pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk berkembang. Maka, modelnya adalah model dialogis, model konsientisasi, model mencari bersama antar guru dan siswa. Model banking system (system bank) di mana siswa pasif hanya mendengarkan guru ceramah dan hanya taat kepada apa yang dikatakan guru tanpa boleh kritis jelas bertentangan. Dalam hal ini, model konsientisasi yang dicetuskan oleh Paulo Freire cocok karena disana siswa menjadi aktif dan partisipatif dalam proses belajar bersama. Bahan pun dapat ditentukan bersama-sama antara siswa dan guru.
Maka, model pembelajaran yang dianggap baik adalah model demokratis dan dialogis. Siswa dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik pendapat guru yang diangap tidak tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Maka, model pendidikan yang membuat siswa bisu (budaya bisu) tidak zamannya lagi. Pendidikan yang benar harus membebaskan siswa untuk berpikir, berkreasi, dan berkembang. Siswa tidak dijadikan penurut dan jadi robot, tetapi menjadi pribadi yang berpikir, memilih, dan menentukan sikap. Model pembelajaran seperti itu juga berlaku dalam bidang kemanusiaan yang lain, dalam penanaman nilai moral, nilai kebaikan, spiritualitas, sosialitas, dan lain-lain. Semua nilai kemanusiaan yang mau dikembangkan perlu dibantu oleh pendidik dengan cara yang demokratis.
Sumber : S.Karim, Februari 2003, bahan pelatihan KBK disarikan dari Suparno, P
dkk, 2002: Reformasi Pendidikan: sebuah rekomendasi.
Kamis, 01 Oktober 2009
PENDIDKAN HUMANISTIK BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan Humanistik
Kata “humanisme” adalah salah satu istilah dalam sejarah intelektual yang sering digunakan dalam berbagi bidang, khususnya filsafat, pendidikan, dan sastra. Menurut Edwords, humanisme adalah suatu aliran pemikiran yang mempercayai manusia berbeda dengan ciptaan lain dan memiliki kapasitas lebih dibandingkan hewan. Kaum humanis memusatkan perhatian pada manusia secara keseluruhan, terutama pada pengembangan pribadi dan kehidupannya.
Meskipun berbagai pandangan mengenai humanisme memang memiliki unsur-unsur kesamaan yaitu berkaitan dengan perhatian dan nilai-nilai kemanusiaan dan biasanya dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, makna-makna yang diberikan kepada istilah ini juga memiliki nuansa yang berbeda, tergantung pada kepentingan dan proyek-proyek yang direncanakan dan diajukan.
Kita sering menemui dua istilah “pendidikan humanistik” dan pendidikan humaniora”. Pendidikan menurut program kaum humanis disebut ”studi humaniora”. Istilah ”studi humaniora” sering digunakan secara bergantian dengan istilah ”pendidikan humanistik” yang menunjuk pada realitas yang sama, yakni bidang-bidang studi khas dalam program humanisme.
Istilah Humanisme dalam Pendidikan
Untuk mengetahui dan memahami humanisme dalam konteks pendidikan, kita perlu mengetahui asal mula ”humanisme” itu sendiri. Ada tiga istilah yang membentuk pengertian humanisme, di mana satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Ini penting sebagai pijakan awal mengetahui dan memahami riwayat humanisme dalam pendidikan.
Istilah pertama yaitu studia humanitatis, suatu istiah yang menunjuk pada pendidikan bergaya liberal art atau artes liberales dengan mempelajari karya-karya Romawi klasik seperti Cicero dan Gellius. Pada pertengahan abad ke-15, istilah studia humanitatis dipakai pada berbagai bidang studi yang berbeda-beda seperti tata bahasa, retorika, sejarah, puisi, dan filsafat moral. Caranya mempelajari karya-karya pengarang klasik yang cukup standar, khususnya yang berbahasa Latin dan Yunanai, dengan cara membaca dan menafsirkan.
Dari istilah studia humanitatis diturunkan sebuah istilah baru yaitu humanista, suatu istilah yang diciptakan pada puncak kejayaan zaman Renaissance. Istilah humanista menunjuk pada guru besar humanisme di universitas-universitas di Italia.
Dari istilah humanista, seorang ahli pendidikan Jerman, F. J. Niethammer (1808) menciptakan istilah ”humanismus”. Istilah ini menunjuk pada metode pendidikan yang mengajarkan karya-karya klasik berbahasa Latin dan Yunanai sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah menegah. Metode Niethammer ini sebenarnya bentuk perlawanan terhadap praktik pendidikan yng lebih menekankan segi praktis dan berorientasi pada ilmu pengetahuan (sains) yang semakin meluas di Jerman dan Eropa.
Perkembangan humanisme dalam Pendidikan
Dalam konteks Indonesia, kita dapat menemukan pendidikan humanistik di sekolah-sekolah yang berbasis agama seperti seminari, pesantren, dan sebagainya. Ki Hajar Dewantara dengan Sekolah Taman Siswa dapat juga dijadikan model pendidikan humanistik di Indonesia. Sekolah Taman Siswa, di samping mengajarkan pengetahuan praktis, para peserta didik juga diberikan pelajaran-pelajaran yang membentuk kepribadian siswa melalui studi teks-teks Jawa Klasik, Seni Karawitan, Seni Tari, Bahasa Jawa, dan sebagainya. Sampai sekarang dengan spesialisasinya yang semakin rumit, pembentukan manusia yang utuh dan seimbang, kelihatan semakin mendesak dan gagasan ini yang melatabelakangi diselenggarakannnya berbagai mata pelajaran humaniora. Misalnya di SMA kita menjumpai mata pelajaran studi humaniora seperti Sosiologi, Kewarganegaraan, Agama, Sejarah, Bahasa dan Sastra, dan Kesenian.
Ciri Khas Pendidikan Humanistik
Pendidikan humanistik Abad Pertengahan memiliki dua ciri khas.
- Minat yang besar dan proyek untuk melanjutkan dan mengembangkan tradisi retorika dalam dunia barat. Tradisi ini menganut tradisi Yunani kuno yang menekankan pentingnya peranan para ahli pidato (orators atau rhetoricians). Pada jaman Yunani klasik, seseorang yang dianggap berpendidikan cukup menguasai seni membaca dan berbicara dengan fasih. Para tokoh humanis mengembangkan suatu keyakinan baru bahwa cara paling baik untuk berbicara fasih adalah meniru para ahli pidato klasik, terutama mengacu pada teks-teks karya Cicero (106-43 SM). Sehingga humanisme pada masa itu sebagai era Ciceronisme, studi dan peniruan terhadap gaya retorika Cicero.
Para humanis percaya dengan apa yang diyakini oleh Cicero bahwa keterampilan dan cara berretorika yang baik, selain menyentuh akal budi juga menggugah imajinasi dan emosi manusia, sehingga para pendengarnya akan bertindak ke arah yang positif. Dengan demikian, para humanis mengombinasikan kecakapan berbicara (elequence) dan kebijaksanaan (wisdom).
- Tujuan umum pendidikan humanistik sebagai persiapan atas tugas pelayanan publik. Pada Abad Pertengahan, para ahli pidato memainkan peranan yang sangat penting dalam tugas pelayanan kepada publik. Cicero, seorang tokoh yang menjadi rujukan bagi paa humanis, mengatakan pentingnya membangun relasi setiap individu dan seluruh umat manusia, dan secara khusus hubungan emosi antara warga negara dan negaranya. Menurut Cicero, segala yang kita miliki, termasuk bakat dan keterampilan, harus dibagi-bagikan kepada orang lain demi perbaikan dan kesejahteraan hidup bersama (bonnum commune).
Melalui pendidikan humanistik, kaum humanis berusaha mengadakan pembaharuan moral dalam masyarakat. Pembaharuan moral, misalnya, dilakukan dengan memberikan mata pelajaran Sejarah, sebab para humanis yakin orang dapat dan perlu belajar Sejarah supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dua ciri khas pendidikan humanistik Abad Pertengahan di atas, masih dijumpai dalam pendidikan dewasa ini.
Tujuan Pendidikan dan Pendidikan Humanistik
- Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah proses terorganisasikan, yang membuat manusia sadar akan segala realitas, agar dia dapat sampai kepada tuhan sebagai tujuan akhirnya. Berkaitan dengan hal itu, pendidikan selalu menekankan tiga aspek yaitu segi kognitif, afektif, dan psikomotorik, masing-masing agar budi anak didik lebih berkembang, agar sikap hatinya semakin tumbuh seimbang, dan agar kehendak berikut tingkah lakunya menjadi semakin baik. Yang menjadi masalah, banyak pihak sering menafsirkan secara sempit bahwa pendidikan hanya sekadar pengalihan (transfer) pengetahuan saja atau lebih pada penekanan segi kognitif. Menurut Brubacher, tujuan pendidikan bukan pertama-tama pengalihan pengetahuan, melainkan membantu agar peserta didik mampu mengembangkan potensi-potensi untuk tahu lebih banyak dan belajar secara terus-menerus dalam arti seluas-luasnya. Potensi untuk mengetahui lebih banyak dan belajar secara terus-menerus ada dalam diri manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi dengan anugerah akal budi. Melalui pendidikan, seorang manusia diajak untuk menuju kepada pemahaman terhadap dirinya sendiri, sesama, lingkungan, dan Tuhan. Bila seorang mengetahui dalam konteks lengkap semacam itu maka dia dapat mandiri dalam relasi-relasinya dengan yang lain (the others).
UNESCO merumuskan bahwa pendidikan berarti belajar untuk mengetahui (to know), untuk melakukan sesuatu (to do), untuk menjadi diri sendiri (to be), dan untuk hidup bersama (to live together). Dari rumusan tersebut, pendidikan bukan hanya menekankan untuk mengerti sesuatu (to know) atau segi intelektualitas saja, melainkan peserta didik dibantu untuk melakukan dan bertindak sesuai dengan yang diketahuinya. Dengan bekal pengetahuan, peserta didik dapat menggunakan pengetahuan itu bagi kehidupan bersama-sama dengan orang lain.
Menurut Drijarkara, pendidikan harus membantu agar seseorang secara tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instingtif saja. Dalam pengertian ini, pendidikan adalah proses hominisasi. Secara lebih luas pendidikan hendaknya dipahami sebagai proses humanisasi yaitu usaha agar seluruh sikap dan tindakan serta aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat manusiawi dan semakin manusiawi. Sudut pandang yang demikian ini, pendidikan adalah hominisasi dan humanisasi.
Untuk mencapai tujuan pendidikan dalam arti membentuk manusia yang manusiawi, seluruh usaha pendidikan berusaha membantu agar anak didik berkembang semakin manusiawi (humanior). Untuk itu diperlukan berbagai mata ajar atau bahan pendidikan tertentu dengan metode tertentu, yang dalam sejarah pendidikan disebut humaniora.
- Tujuan pendidikan Humanistik
Gage dan Berliner menguraikan lima tujuan pokok pendidikan humanistik yaitu :
- Mencapai pribadi yang berkembang secara positif dan mandiri.
- Mengembangkan tanggung jawab terhadap apa yang telah dipelajari.
- Mengembangkan kreativitas.
- Menumbuhkan sikap keingintahuan.
- Menumbuhkan apresiasi terhadap seni.
Ringkasnya, pendidikan humaniora tidak mengarah pada kejuruan, pada keterampilan tertentu, melainkan pada pendewasaan pribadi sebagai manusia dan warga negara, bukannya pekerja dalam bidang tertentu. Maka dari itu pendidikan humaniora memusatkan perhatian pada kelangsungan dan perkembangan seni-seni dan keahlian, yang ungkapannya ditemukan pada khasanah-khasanah dan masalah-masalah besar, dan pada nilai-nilai yang paling tinggi bagi umat manusia.
Tujuan tersebut jelas sangat tidak praktis, karena banyak orang sering menganggap bahwa pendidikan hanya digunakan ebagai sarana untuk memperoleh gelar akademis sehingga mudah memperoleh pekerjaan. Sebaliknya, pada umumnya pendidikan humanistik mengembangkan kualitas moral serta kemanusiaan bagi pelayannan kepada orang banyak.
Sumber : Herman Yosep Sunu Endrayanto