Pendidikan Humanistik
Kata “humanisme” adalah salah satu istilah dalam sejarah intelektual yang sering digunakan dalam berbagi bidang, khususnya filsafat, pendidikan, dan sastra. Menurut Edwords, humanisme adalah suatu aliran pemikiran yang mempercayai manusia berbeda dengan ciptaan lain dan memiliki kapasitas lebih dibandingkan hewan. Kaum humanis memusatkan perhatian pada manusia secara keseluruhan, terutama pada pengembangan pribadi dan kehidupannya.
Meskipun berbagai pandangan mengenai humanisme memang memiliki unsur-unsur kesamaan yaitu berkaitan dengan perhatian dan nilai-nilai kemanusiaan dan biasanya dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, makna-makna yang diberikan kepada istilah ini juga memiliki nuansa yang berbeda, tergantung pada kepentingan dan proyek-proyek yang direncanakan dan diajukan.
Kita sering menemui dua istilah “pendidikan humanistik” dan pendidikan humaniora”. Pendidikan menurut program kaum humanis disebut ”studi humaniora”. Istilah ”studi humaniora” sering digunakan secara bergantian dengan istilah ”pendidikan humanistik” yang menunjuk pada realitas yang sama, yakni bidang-bidang studi khas dalam program humanisme.
Istilah Humanisme dalam Pendidikan
Untuk mengetahui dan memahami humanisme dalam konteks pendidikan, kita perlu mengetahui asal mula ”humanisme” itu sendiri. Ada tiga istilah yang membentuk pengertian humanisme, di mana satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Ini penting sebagai pijakan awal mengetahui dan memahami riwayat humanisme dalam pendidikan.
Istilah pertama yaitu studia humanitatis, suatu istiah yang menunjuk pada pendidikan bergaya liberal art atau artes liberales dengan mempelajari karya-karya Romawi klasik seperti Cicero dan Gellius. Pada pertengahan abad ke-15, istilah studia humanitatis dipakai pada berbagai bidang studi yang berbeda-beda seperti tata bahasa, retorika, sejarah, puisi, dan filsafat moral. Caranya mempelajari karya-karya pengarang klasik yang cukup standar, khususnya yang berbahasa Latin dan Yunanai, dengan cara membaca dan menafsirkan.
Dari istilah studia humanitatis diturunkan sebuah istilah baru yaitu humanista, suatu istilah yang diciptakan pada puncak kejayaan zaman Renaissance. Istilah humanista menunjuk pada guru besar humanisme di universitas-universitas di Italia.
Dari istilah humanista, seorang ahli pendidikan Jerman, F. J. Niethammer (1808) menciptakan istilah ”humanismus”. Istilah ini menunjuk pada metode pendidikan yang mengajarkan karya-karya klasik berbahasa Latin dan Yunanai sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah menegah. Metode Niethammer ini sebenarnya bentuk perlawanan terhadap praktik pendidikan yng lebih menekankan segi praktis dan berorientasi pada ilmu pengetahuan (sains) yang semakin meluas di Jerman dan Eropa.
Perkembangan humanisme dalam Pendidikan
Dalam konteks Indonesia, kita dapat menemukan pendidikan humanistik di sekolah-sekolah yang berbasis agama seperti seminari, pesantren, dan sebagainya. Ki Hajar Dewantara dengan Sekolah Taman Siswa dapat juga dijadikan model pendidikan humanistik di Indonesia. Sekolah Taman Siswa, di samping mengajarkan pengetahuan praktis, para peserta didik juga diberikan pelajaran-pelajaran yang membentuk kepribadian siswa melalui studi teks-teks Jawa Klasik, Seni Karawitan, Seni Tari, Bahasa Jawa, dan sebagainya. Sampai sekarang dengan spesialisasinya yang semakin rumit, pembentukan manusia yang utuh dan seimbang, kelihatan semakin mendesak dan gagasan ini yang melatabelakangi diselenggarakannnya berbagai mata pelajaran humaniora. Misalnya di SMA kita menjumpai mata pelajaran studi humaniora seperti Sosiologi, Kewarganegaraan, Agama, Sejarah, Bahasa dan Sastra, dan Kesenian.
Ciri Khas Pendidikan Humanistik
Pendidikan humanistik Abad Pertengahan memiliki dua ciri khas.
- Minat yang besar dan proyek untuk melanjutkan dan mengembangkan tradisi retorika dalam dunia barat. Tradisi ini menganut tradisi Yunani kuno yang menekankan pentingnya peranan para ahli pidato (orators atau rhetoricians). Pada jaman Yunani klasik, seseorang yang dianggap berpendidikan cukup menguasai seni membaca dan berbicara dengan fasih. Para tokoh humanis mengembangkan suatu keyakinan baru bahwa cara paling baik untuk berbicara fasih adalah meniru para ahli pidato klasik, terutama mengacu pada teks-teks karya Cicero (106-43 SM). Sehingga humanisme pada masa itu sebagai era Ciceronisme, studi dan peniruan terhadap gaya retorika Cicero.
Para humanis percaya dengan apa yang diyakini oleh Cicero bahwa keterampilan dan cara berretorika yang baik, selain menyentuh akal budi juga menggugah imajinasi dan emosi manusia, sehingga para pendengarnya akan bertindak ke arah yang positif. Dengan demikian, para humanis mengombinasikan kecakapan berbicara (elequence) dan kebijaksanaan (wisdom).
- Tujuan umum pendidikan humanistik sebagai persiapan atas tugas pelayanan publik. Pada Abad Pertengahan, para ahli pidato memainkan peranan yang sangat penting dalam tugas pelayanan kepada publik. Cicero, seorang tokoh yang menjadi rujukan bagi paa humanis, mengatakan pentingnya membangun relasi setiap individu dan seluruh umat manusia, dan secara khusus hubungan emosi antara warga negara dan negaranya. Menurut Cicero, segala yang kita miliki, termasuk bakat dan keterampilan, harus dibagi-bagikan kepada orang lain demi perbaikan dan kesejahteraan hidup bersama (bonnum commune).
Melalui pendidikan humanistik, kaum humanis berusaha mengadakan pembaharuan moral dalam masyarakat. Pembaharuan moral, misalnya, dilakukan dengan memberikan mata pelajaran Sejarah, sebab para humanis yakin orang dapat dan perlu belajar Sejarah supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dua ciri khas pendidikan humanistik Abad Pertengahan di atas, masih dijumpai dalam pendidikan dewasa ini.
Tujuan Pendidikan dan Pendidikan Humanistik
- Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah proses terorganisasikan, yang membuat manusia sadar akan segala realitas, agar dia dapat sampai kepada tuhan sebagai tujuan akhirnya. Berkaitan dengan hal itu, pendidikan selalu menekankan tiga aspek yaitu segi kognitif, afektif, dan psikomotorik, masing-masing agar budi anak didik lebih berkembang, agar sikap hatinya semakin tumbuh seimbang, dan agar kehendak berikut tingkah lakunya menjadi semakin baik. Yang menjadi masalah, banyak pihak sering menafsirkan secara sempit bahwa pendidikan hanya sekadar pengalihan (transfer) pengetahuan saja atau lebih pada penekanan segi kognitif. Menurut Brubacher, tujuan pendidikan bukan pertama-tama pengalihan pengetahuan, melainkan membantu agar peserta didik mampu mengembangkan potensi-potensi untuk tahu lebih banyak dan belajar secara terus-menerus dalam arti seluas-luasnya. Potensi untuk mengetahui lebih banyak dan belajar secara terus-menerus ada dalam diri manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi dengan anugerah akal budi. Melalui pendidikan, seorang manusia diajak untuk menuju kepada pemahaman terhadap dirinya sendiri, sesama, lingkungan, dan Tuhan. Bila seorang mengetahui dalam konteks lengkap semacam itu maka dia dapat mandiri dalam relasi-relasinya dengan yang lain (the others).
UNESCO merumuskan bahwa pendidikan berarti belajar untuk mengetahui (to know), untuk melakukan sesuatu (to do), untuk menjadi diri sendiri (to be), dan untuk hidup bersama (to live together). Dari rumusan tersebut, pendidikan bukan hanya menekankan untuk mengerti sesuatu (to know) atau segi intelektualitas saja, melainkan peserta didik dibantu untuk melakukan dan bertindak sesuai dengan yang diketahuinya. Dengan bekal pengetahuan, peserta didik dapat menggunakan pengetahuan itu bagi kehidupan bersama-sama dengan orang lain.
Menurut Drijarkara, pendidikan harus membantu agar seseorang secara tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instingtif saja. Dalam pengertian ini, pendidikan adalah proses hominisasi. Secara lebih luas pendidikan hendaknya dipahami sebagai proses humanisasi yaitu usaha agar seluruh sikap dan tindakan serta aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat manusiawi dan semakin manusiawi. Sudut pandang yang demikian ini, pendidikan adalah hominisasi dan humanisasi.
Untuk mencapai tujuan pendidikan dalam arti membentuk manusia yang manusiawi, seluruh usaha pendidikan berusaha membantu agar anak didik berkembang semakin manusiawi (humanior). Untuk itu diperlukan berbagai mata ajar atau bahan pendidikan tertentu dengan metode tertentu, yang dalam sejarah pendidikan disebut humaniora.
- Tujuan pendidikan Humanistik
Gage dan Berliner menguraikan lima tujuan pokok pendidikan humanistik yaitu :
- Mencapai pribadi yang berkembang secara positif dan mandiri.
- Mengembangkan tanggung jawab terhadap apa yang telah dipelajari.
- Mengembangkan kreativitas.
- Menumbuhkan sikap keingintahuan.
- Menumbuhkan apresiasi terhadap seni.
Ringkasnya, pendidikan humaniora tidak mengarah pada kejuruan, pada keterampilan tertentu, melainkan pada pendewasaan pribadi sebagai manusia dan warga negara, bukannya pekerja dalam bidang tertentu. Maka dari itu pendidikan humaniora memusatkan perhatian pada kelangsungan dan perkembangan seni-seni dan keahlian, yang ungkapannya ditemukan pada khasanah-khasanah dan masalah-masalah besar, dan pada nilai-nilai yang paling tinggi bagi umat manusia.
Tujuan tersebut jelas sangat tidak praktis, karena banyak orang sering menganggap bahwa pendidikan hanya digunakan ebagai sarana untuk memperoleh gelar akademis sehingga mudah memperoleh pekerjaan. Sebaliknya, pada umumnya pendidikan humanistik mengembangkan kualitas moral serta kemanusiaan bagi pelayannan kepada orang banyak.
Sumber : Herman Yosep Sunu Endrayanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar